DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA

Looking For Anything Specific?

Header Ads

DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA



NAMA                     : Damaris Widiyanti
UNIVERSITAS       : Universitas Gunadarma
DOSEN                   :  Ahmad Nasher



DIMENSI SOSIOLOGIS FUNGSI KONTROL SOSIAL MEDIA MASSA

1. Kontrol Sosial Media
       Menurut Peter L.Berger,yang dimaksud dengan pengendalian sosial adalah berbagai xara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggota yang membengkak. Menurut Roucek (1965) mengartikan pengendalian sosial sebagai suatu istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak, untuk mengajar individu agar dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai kelompok tempat mereka tinggal (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko, Suyanto, 2007:132)
o   Kontrol Sosial Preventif
Media massa adalah salah satu lembaga sosial. Dalam teori jurnalistik dikatakan, media massa adalah wakil sekaligus cermin masyarakat. Secara kategoris, dilihat dari sifatnya, fungsi kontrol sosial mefia massa terbagi atas dua jenis: preventif dan represif. Preventif,berarti media massa melakukan langkah-langkah pencegahan dan antisipatif agar masyarakat tidak menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya agama yang ada. contohnya, media massa mengampanyekan program keluarga berancana yakni penundaan usia perkawinan (PUP) sebagai salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk sekaligus menekan angka kasus perceraian pada pasangan suami istri(pasutri) muda.
o   Kontrol Sosial Represif
Kontrol sosial represif berarti media massa memberikan sanksi terhadap anggota masyarakat yang diyakini melanggar nilai-nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku. Sebagai contoh,media massa mengikuti ke mana pun Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melangkah kaki. Ketika KPK masuk ke gedubg atau rumah seorang tersangka tindak pidana korupsi, dan di sana KPK melakukan penggeledahan, memeriksa serta mengangkut berbagai dokumen penting, media massa mendokulentasikan peristiwa itu melalui bidikan kamera dan catatan penanya. Dalam tempo sejam kemudian, atau bahkan saat itu juga (real time), radio dan televisi menanyangkannya. Media massa, disadari atau tidak, telah melakukan fungsi kontrol sosial secara objektif dan transparan. Disebut objektif, karena media massa hanya merekam dan melaporkan. Sifatnya pasif, dalam arti tidak memilih atau menetapkan siapa yang akan digeledah KPK. Disebut transparan, karena pelaporan disampaikan secara terbuka melalui layar televisi atau siaran radio kepada jutaan khalayak pemirsa dan pendengar yang tersebar,anonim, dan heterogen.
Dalam bahasa sosiologi, kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi " mengancamkan sanksi" disebut kontrol sosial yang bersifat preventif. Sedangkan kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memmulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula disebut konrol sosial yang bersifat represif.
2. Faktor Penyebab Pelanggaran Norma Sosial
      Dalam analogi sosiologi, kontrol sosial seperti batu: bisa menguat, tetapi bisa pula melemah. Soerjono Soekanto menyebutkan, terdapat empat faktor mengapa masyarakat berperilaku menyimpang dari norma yang berlaku:
Ø  Kaidah yang tidak memuaskan
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kaidah yang ada tidak selamanya dalam posisi menggembirakan. Ada saatnya bahkan berada dalam titik kekecewaan. Kenyataan demikian terutama ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan baru sebagai dampak tak terhindarkan dari pengaruh sesuatu yang dianggap modern. Sebagai contoh, pada tahun 1970-an, perempuan yang mengenakan celana panjang dianggap sebagai tidak tahu adat, atau dalam budaya dan bahasa Sunda disebut jalingkak. Kata jalingkak diarahkan pada sikap/perilaku perempuan yang bertolak belakang denfan kodrat kewanitaannya yang feminin, lemah lembut, keibuan. Sikap perempuan yang menyerupai sikap/perilaku laki-laki dalam budaya Sunda lazim disebut jalingkak.
Ø  Kaidah kurang terumuskan
Perumusan kaidah yang kurang jelas menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan serta berdampak pada penurunan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma sosial. Dalam bahasa positif, perumusan kaidah yang kurang jelas dijadikan sumber dan daya dukung oleh sebagian kelompok masyarakat untuk menjustifikasi (membenarkan) sikap-perilaku dan tindakannya selama ini. Karena sifatnya yang demikian, maka tidaklah tepat apabila mereka lalu mendapat sanksi atau hukuman sosial dari lingkungannya.
Ø  Konflik dalam masyarakat
Pada masyarakat terdapat banyak peranan. Setiap individu bebas untuk mengisi dan memainkan peranan itu. Yang kerap menimbulkan masalah adalah pemahaman dan pengisian peranan itu tidak berjalan sesuai dengan koridor yang ada. Artinya, tidak jarang ditemuka penyimpangan di sana-sini. Sebagai contoh, oknum polisi dengan sengaja melindungi penjudi.
Secara sosiologi, semakin banyak terjadi penyimpangan peranna dalam masyarakat, semakin tingi peluang terjadi friksi dan konflik baik verbal (perang kata,propaganda, kampanye negatif) maupun fiskal (demonstrasi, baku hantam, penyerbuan, kerusakan). Ketika dalam masyarakat terjadi beberapa atau banyak konflik, media massa dengan sendirinya terpanggil untuk melakukan koreksi, advokasi, dan mediasi.
Ø  Tidak mungkin merata
Dalam terminologi hukum misalnya, kita mengenal dua jenis keadilan.: keadilan distributif merupakan pembagian pendapatan, keuntungan, hak, barang, jasa, tunjangan atau upah mejurut besar-kecilnya kontribusi yang telah dikeluarkan oleh orang itu. Seorang rektor misalnya, akan mendapat honorarium kepanitiaan penerimaan mahasiswa baru jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dosen yang menjadi petugas pengawas ujian seleksi. Jadi distributif bersifat bertingkat-tingkat, tidak sama rata. Keadilan komutatif bersifat sebaliknya. Dalam keadilan komutatif tidak dikenal pembagian barang atau hasil jasa secara bertingkat.
Dalam konteks inilah media massa diharapkan untuk selalu memberikan terobosan-terobosan pemecahan masalah. Minimal dengan tidak membiarkan dan menganggap fenomena seperti itu sebagai kebiasaan yang tidak bisa disembuhkan.
3. Jenis Sanksi Dalam Kontrol Sosial
         Sanksi di sini diartikan sebagai suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masyarakat yang terbukti melanggar arau menyimpang dari keharusan sosial, dengan tujuan agar masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut. Ada tiga jenis sanksi yang digunakan dalam pelaksanaan kontrol sosial, yakni:
1.      Sanksi Bersifat Fisik
2.      Sanksi Bersifat Psikologik
3.      Sanksi Bersifat Ekonomik
4. Jenis Konformitas Dalam Kontrol Sosial
       Terdapat dua masalah pokok yang erat kaitannya dalam masalah kontrol sosial: konformitas dan deviasi. Konformitas adalah penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan mengikuti norma-norma yang berlaku. Sebaliknya deviasi adalah penyimpangan dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Contoh, oknum pengeak hukum yang melakukan pungutan liar. Untuk mengusahakan dengan menggunakan insentif positif. Insentif adalah dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah atau menyimpang. Seperti juga sanksi, insentif yang bersifat psikologik, dan insentif yang bersifat ekonomis (Soetandyo Wignjosoebroto dalam Narwoko dan Suyanto, 20017:137).
5. Jenis Deviasi Dalam Kontrol Sosial
      Secara umum,perilaku menyimpang digolongkan ke dalam tiga jenis:
Ø   Tindakan nonkonformitas
Tindakan nonkonformitas (nonconform) berarti perilaku yang tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Jadi secara sosiologis,media dapat memainkan peran sebagai agen budaya,menanamkan pengertian, kesadaran, serta kepedulian kepada masyarakat untuk mengikuti kaidah dan tertib sosial.
Ø  Tindakan antisosial
Tindakan antisosial atau asosial, yaitu perbuatan yang dapat dikategorikan melawan kebiasaan masyarakat dan kepentingan umum.
Ø  Tindakan kriminal
Tindkana kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain.
6. Teori Deviasi Perspektif Sosiologi Komunikasi Massa
       Kita bisa menggunakan paling tidak dua perspektif untuk menyelami lebih dalam mengenai akar pentebab dan latar belakang mengapa seseorang atau sekelompok orang terjebak dalam perilaku menyimpang. Pertama perspektif individualistik, dan kedua perspektif teori-teori sosiologi. Salah satu asumsi dasar yang bisa diajukan: perilaku menyimpang tidak mungkin terjadi pada seseorang apabila lingkungan eksternal tidak menjadi faktor pemicunya.
Berikut disajikan beberapa teori perspektif sosiologi:   
Ø  Teori Anomie
Berasumsi bahwa panyimpangan adalaha akibat adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang.
Dalam bahasa sederhana, sebut saja bahasa komunikasi massa, anomie adalah suatu situasi ketika masyarakat kehilangan pegangan nilai-nilai lama sementara nilai-nilai baru belum dikuasai dan diterima sepenuhnya sebagai norma sosial. Teori komunikasi massa menekankan, media memiliki fungsi edukasi yang setiap saat dapat dikendalikan untuk mendidik, mengarahkan, dan membimbing masyarakat mengikuti koridor dan rambu-rambu sosial budaya yang benar.
Salah satu bentuk adaptasi yang oleh Merton dianggap menyimpang dalam situasi anomie ialah inovasi (innovation). Inovasi adalah salah satu bentuk adaptasi yang melibatkan penggunaan cara-cara yang tidak sah seperti mencuri, merampok, dan berbagai bentuk kejahatan yang terorganisasi, untuk mencapai tujuan-tujuan status yang secara kultural telah ditetapkan masyarakat.
7. Teori Belajar
        Menurut teori ini, penyimpangan perilaku yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tidaklah datang tiba-tiba dengan sendirinya ttapi hail dari proses belajar. Jadi, teori proses belajar, atau disebut juga teori sosialisasi, melihat perilaku menyimpang sebagai sesuatu yang disadari, dipelajari, dan direncanakan. Media perlu ekstra hati-hati dan waspada. Jangan sampai malah media menjadi wahana inspirasi, moticasi, dan sosialisasi aneka tibdak kriminal berikutnya oleh para pelaku yang lain dan di tempat yang lain.
8. Teori Labeling
        Menurut Becker sebagai salah seorang pencetus teori labeling, penyimpangan (deviasi) merupakan suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi orang lain kepada seorang pelanggar. Penyimpangan tidak didasarkan pada norma, tetapi melalui rekasi atau sanksi dari para pelaku sosial (Clinard dan Meier, 1989:92).
       Dalam teori labeling dikenal dua bentuk penyimpangan, yakni penyimpangan primer(primary labeling), prang melakukan suatu tindak kriminal atau apa pun yang termasuk dalam kategori deviasi, karena dia telah dicap sebagai pencuri dan penyimpangan sekunder, cirinya antara lain diperlukan waktu panjang dan cenderung kasat mata.
9. Teori Kontrol
       Norma adalah kaidah, aturan pokok, ukuran, kadar patokan yang ditetima secara utuh (en bloc) oleh masyarakat guna mengatur kehidupan dan tingkah laku sehari-hari agar hidup ini terasa aman dan menyenangkan.
Pasal 8 ayat 1 UU No. 32/2002 Tentang Penyiaran mengatakan, KPI sebagai wujud peran serta masyarakat terhadap penyiaran. Pasal 8 ayat 2 menyatakan, dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 KPI mempunyai wewenang:(a) menetapkan standar program siaran;(b) menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran dan lain-lain.
10. Teori Konflik
          Konflik-konflik kultural dan aneka krisis tersebut menyebabkan banyak ketakutan, kecemasan, dan kebingungan; perasaan datar dan dingin membeku; tidak peduli terhadap orang lain dan diri sendiri.
          Menurut Quinney (1979:115-160) , teori konflik menitikberatkan analisisnya pada asal-usul terciptanya suatu aturan atau tertib sosial.
Maragaret M.Poloma dalam Contemporery Soaiology Theory menyatakan, konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial.
      Tegasnya, idealisme tanpa komersialisme hanya merupakan sebuah ilusi. (Sumadiria, 2006:47). Namun untuk mencapainya, media massa pun, sperti juga masyarakat, pasti bersinggungan atau bahkan menjadi bagian dari konflik. Jadi, konflik tidak perlu ditakuti karena konflik tak bisa dihindari. Konflik harus dihadapi dengan lega hati dan stategi yang sudah sangat teruji

Post a Comment

0 Comments