NAMA : Damaris Widiyanti
UNIVERSITAS : Universitas Gunadarma
DOSEN : Ahmad Nasher
ANALISIS FUNGSIONAL DAN DISFUNGSIONAL SERTA MODEL-MODEL KOMUNIKASI MASSA
·
Analisis Fungsional Dan Disfungsional Komunikasi Massa
Menurut Denis McQuail terdapat lima
fungsi media komunikasi massa yakni informasi, korelasi, sosialisasi
(kesinambungan), rekreasi (hiburan), dan mobilisasi. Sedangkan menurut penulis
buku yang lain, fungsi mediamassa meliputi: informasi, edukasi, koreksi,
rekreasi, dan mediasi.
Istilah konsekueni dari Merton
ditujukan untuk fungsi nyata (manifest functions) yang diinginkan, dan
fungsi-fungsi tersembunyi (latent functions) yang tidak diinginkan.
Konsekuensi-konsekuensi yang tak diinginkan ditinjau dari kesejahteraan
masyarakat atau anggotanya disebut dysfunctions (disfungsional). Setiap
tindakan bisa memiliki efek-efek fungsional dan disfungsional.
1. Pengawasan
Oleh Media Massa
Pengawasan secara sederhana berarti
penanganan berita yang dilakukan media massa. Salah satu konsekuensi positif
dari pengawasan ialah bahwa komunikasi massa memberikan peringata mengenai
ancaman dan bahaya yang mengancam di dunia, katakanlah bahaya yang berasal dari
badai atau bahaya yang berasal dari serangan militer.
Media perlu senantiasa diberi
tempat yang layak pula dalam ruang-ruang sosial masyarakat. Ia bukan musuh
bersama (common enemy). Ia justru merupakan sahabat bersama (common friend)
yang pantas untuk didekati dan dijadikan mitra sejati. Jadi, keliru besar kalua
ada anggapan yang menyatakan media adalah perusak moral dan penghancur tata
nilai dan tertib sosial (social disorder).
2. Korelasi
Korelasi berarti bagaiman media
massa membaca dan sekaligus memberikan tafsir atau interprestasi terhadap
berbagai informasi lingkungan sosial dan fisik di sekitarnya.
Tugas media, melalui fungsi
korelasi, ialah membaca, mengomentari, dan menafsirkan berbagai serpihan
informasi dan peristiwa tersebut sehingga benar-benar terpolakan. Kolerasi akan
disebut fungsional,sejauh redaksi mampu memberikan tafsir jurnalistik sehingga
khalayak pembaca, semula pesimis mendaji optimis, dan semula samar-samar
berubah menjadi terang-benderang.
3. Transmisi
Budaya
Dalam Bahasa Charles Wright,
transmisi warisan sosial (social heritage) berfokus pada komunikasi
pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari satugenerasi ke generasi
lain, atau dari anggota-anggota suatu kelompok kepada para pendatang baru. Pada
umumnya, aktivitas ini diidentifikasikan sebagai aktivitas pendidikan (Wright,
1985:8).
Robert K. Merton, dengan teori
fungsi ciptaannya, tidak dengan serta-merta mengakui dan menyetujui “agama
baru” itu. Merton malah mengingatkan, transmisi budaya media massa bisa berubah
menjadi serangan balik yang mematikan. Artinya, media massa yang semestinya
menjadi guru teladang di ruang-ruang kelas dengan mewariskan nilai dan
norma-norma sosial dari generasi ke generasi, malah justru mengundang dan membawa
banyak petaka bagi masyarakat. Seruan kelompok –kelompok pengamat termasuk
lembaga-lembaga pemantau media massa seperti Komisi Penyiaran Indonesia Pusat
dan daerah (KPI dan KPID) supaya media massa kembali ke jalan yang benar dan
lurus, nyatanya sering tak digubris. Cuek bebek. Inilah yang disebut dengan
efek disfungsional transmisi budaya media massa.
4. Hiburan
Secara psikologis, hiburan dapat
merenggangkan urat-urat syaraf yang tegang karena berbagai beban pikiran dan
pekerjaan.
Fungsi media massa televisi, memang
memberikan hiburan sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya kepada masyarakat
pemirsa. Hasil survei penulis menunjukkan, sedikit 70 persen jam siaran televisi
swasta di Indonesia diisi dengan berbagai tayangan program hiburan, terlepas
dari apakah tayangan hiburan itu bermutu atau tidak. Efek fungsional yang
terjadi ialah pemirsa terpuaskan kebutuhan hasrat hiburannya. Tetapi juga fakta
menunjukkan, tak hanaya efek fungsional yang muncul dari tayangan program
hiburan televisi.
Hasil berbagai kajian, penelitian,
dan pemantauan, termasuk monitoring dan evaluasi tayangan yang secara rutin
dilakukan KPI dan KPID menunjukkan, televisi siaran juga ternyata banyak
melahirkan efek disfungsional.
5. Penganugerahan
Status
Karena namanya, gambaranya, atau
kegiatannya dimuat oleh media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak
mendapat reputasi yang tinggi. Dalam jurnalistik dikenal pemeo names make news
(nama membuat berita). Sehubunganan dengan pembentukan citra, kita juga dapat
berkata , news make names (berita membuat nama).
Pemberian status akan fungsional selama status atau julukan baru
itu, memberikan citra dan dampak positif kepada seseorang atau organisasi,
lembaga, dan tempat yang dilaporkan oleh media.
Sayangnya, penganugerahan status
media pun sering ditolak mentah-mentah oleh orang, pihak, organisasi, lembaga,
dan tempat yang menerimanya. Apalagi kalua bukan dianggap berkonotasi negatif,
buruk, melecehkan, mengandung unsur penghinaan, bahkan termasuk dalam kategori
pembunuhan karakter seseorang atau suatu lembaga yang sudah dianggap memiliki
reputasi baik di mata masyarakat. Tak terelakkan lagi, itulah yang dimaksud
dengan fungsi tersembunyi (latent functions) media massa dalam pemberian gelar,
julukan, atau status baru kepada seseorang suatu organisasi atau lembaga dan
tempat.
Secara sosiologis dan yuridis, media yang mengalami kesalahan
dalam pemberian status akan menghadapi konsekuensi yang dalam jangka panjang
bisa membuat dirimu mati suri.
6. Pengakhlakan
Komunikasi massa mempunyai fungsi
mengakhlakkan (ethicizing) kalau komunikasi itu memperkuat control sosial atas
anggota-anggota masyarakat yang membawa penyimpangan perilaku ke dalam
pandangan masyrakat. Media massa, dengn logika dan kepentingannya sendiri,
memperkenalkan berbagai program acara yang dalam tempo singkat, membawa
masyarakat ke dalam situasi apa yang disebut sosiologi sebagai anomie. Artinya,
masyarakat cenderung kehilangan pegangan nilai-nilai lama, ketika nilai-nilai
baru masih dianggap asing dengan dirinya dan belum tentu bisa diterima serta
lebih baik dibandingkan nilai-nilai lama.
·
Model –Model Komunikasi Massa: Perspektif Sosiologis
Riley menunjuk pada peran primary
group dan reference group dalam proses komunikasi. Primary group ditandai
dengan hubungan yang intim antaranggotanya, misalnya keluarga. Sedangkan
reference group adalah kelompok ketika seseorang belajar untuk mengenal sikap,
nilai, dan perilakunya. Dalam banyak hal primary group acapkali berfungsi pula
sebagai reference group. Dalam kapasitasnya sebagai komunikator, individu
mungkin terengaruh dalam memilih dan membentuk pesannya. Sebagai penerima pesan
ia dipengaruhi dalam hl menyeleksi pesan, memersepsi pesan dan menanggapi pesan
(Senjaya, 2007:5.09-5.10).
Kelompok primer ini, berfungsi juga
sebagai pemberi referensi terhadap anggota atau orang-orang yang berada di
dalam dan diluar kelompoknya mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa
yang seharusnya tidak dilakukan. Kita tahu, informasi media massa bersifat
selintas, bertubi-tubi, dan sepotong-sepotong. Dengan kata lain informasi media
massa hanya merupakan serpihan-serpihan yang tak terstruktur dan tak tersambung
satu sama lain. Di sini, kelompok primer berperan sebagai ahli tafsir berita
dan peristiwa (news interpreter).
Keempat model itu meliputi model
jarum hipodermik, model komunikasi satu tahap, model komunikasi dua tahap, dan
model komunikasi banyak tahap.
1. Model Jarum
Hipodermik
Model jarum hipodermik pada hakikatnya adalah model komunikasi
satu arah, berdasarkan anggapan bahwa media massa memiliki pengaruh langsung,
segera, dan sangat menentukan terhadap khalayak komunikasi (audience). Media
massa merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak komunikan
yang pasif. Menurut Elihu Katz:
§ Media massa
yang sangat berpengaruh mampu memaksakan kehendaknya pada khalayak komunikan
yang sama sekali tidak berusaha untuk mencoba berpikir lain.
§ Khalayak
komunikan yang otomatis (dianggap tidak memiliki hubungan satu sama lain)
terikat pada media massa tetapi tidak terikat kepada kelompoknya. Pengaruh
media digambarkan sebagai suatu kekuatan yang mengubah perilaku manusia tanpa
dapat dihalangi oleh kekuatan apa pun (Depari dan Andrews, 1985:17-18).
2. Model
Komunikasi Satu Tahap
Model komunikasi satu tahap (one
step flow communication model) menyatakan bahwa media massa sebagai saluran
komunikasi langsung berpengaruh pada khalayak komunikan, tanpa membutuhkan
peranan para pemuka pendapat sebagai penyebar informasi.
Perbedaan antara model jarum hipodermik dengan model komunikasi
satu tahap terletak pada kenyataan bahwa:
o
Model komunikasi satu tahap mengakui bahwa tidak semua media
memiliki kekuatan pengaruh yang sama.
o
Model komunikasi satu tahap memperhitungkan peranan selektivitas
sebagai faktor yang menentukan penerimaan khalayak komunikan
o
Model komunikasi satu tahap mengakui kemungkinan timbulnya reaksi
yang berbeda dari khalayak komunikan terhadap pesan komunikasi yang sama
(Depari dan Andrews, 1985:20).
Media massa sebagai komunikator,
langsung bertemu dan berinteraksi dengan khalayak. Khalayak adalah individu atau
kelompok yang memiliki perhatian selektif, persepsi selektif, dan tanggapan
selektif.
3. Model Komunikasi
Dua Tahap
Model komunikasi dua tahap (two step flow communication model) ini
membantu kita dalam mendapatkan perhatian pada peranan media massa yang
dihubungkan dengan komunikasi antarpribadi. Model ini memandang khalayak
sebagai individu-individu yang berinteraksi. Dalam perspektif sosiologis, model
komunikasi dua tahap mengasumsikan proses interaksi sosial yang cukup pekat
antara pihak yang terlibat dalam komnikasi. Kehadiran dan fungsi pemuka
pendapat (informal leader) juga cukup menonjol. Pemuka pendapat juga diasumsikan sebagai
individu yang memiliki status sosial tinggi dalam struktur sosial masyarakat
setempat. Pemuka pendapat inilah yang kemudian, melakukan apa yang disebut dala
sosiologi sebagai kontak sosial (social contact) dan komunikasi.
Kata kontak berasal dari Bahasa lati con atau cum (yang artinya
bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh). Jadi artinya secara harfiah
adalah bersama-sama meneyentuh. Kontak sosial dapat bersifat positif, dapat
pula bersifat negatif. Kontak sosial bersifat positif, mengarahkan kepada suatu
kerja ama. Sedangkan kontak sosial bersifat negative mengarahkan pada suatu
pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaki sosial.
suatu kontak sosial dapat pula bersifat primer dan sekunder.
Menurut Eduard Depari dan Colin MacAndrews, terdapat enam Kelemahan
model komunikasi dua arah:
o
Model ini menyatakan bahwa individu yang aktif dalam mencari
informai hanya pemuka pendapat, sedangkan anggota masyarakat pada umumnya
pasif.
o
Pandangan bahwa proses komunikasi massa pada hakikatnya dua tahap,
ternyata membatasi proses analisinya, sebab proses komunikasi dapat terjadi
dalam dua tahap atau lebih.
o
Model komunikasi dua tahap menunjukkan betapa tergantungnya pemuka
pendapat terhadap informasi yang disampaikan media massa.
o
Penelitian tahun 1940, yang menghasilkan komunikasi dua tahap,
mengabaikan perilaku khalayak berdasarkan “waktu” pengenalan idea baru.
o
Pelbagai saluran komunikasi berperan dalam pelbagai tahap
penerimaan inovasi dan pengambilan keputusan.
o
Pemisahan khalayak komunikan atas pemuka pendsapat dan masyarakat
pengikut (followers) dilakukan oleh model komunikasi dua tahap.
4. Model
Komunikasi Banyak Tahap
Banyak tahap yang harus dilalui dalam proses penerimaan informasi
bergantug pada: (1) tujuan sumber informasi; (2) banyaknya media massa yang menyebarluaskan
informasi; (3) isi pesan yang disampaikan, apakah berkenan bagi khalayak atau
melibatkan kepentingan khalayak; dan (4) apakah cara penyampainnya menarik
perhatian khalayak (Depari dan Andrews 1985:20-21).
5. Komunikasi Massa,
Masyarakat, dan Budaya
Menurut Melvin DeFleur dalam karyanya yang monumental, Theories of
Mass Communication (1966), terdapat empat teori untuk menjelaskan pola
interaksi media komunikasi massa dengan masyarakat dan budaya. Keempat teori
itu meliputi: teori perbedaan individu (the individual differences theory),
teori penggolongan sosial (the social category theory), teori hubungan sosial
(the social relationship), dan teori norma-norma budaya (the cultural norms
theory).
6. Komunikasi Massa
Dan Perubahan Sosial
Gillin dan Gillin menyatakan, perubahn sosial diartikan sebagai
suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan
kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk dan ideology, maupun
karena adanya difusi ataupun penemu-penemuan baru dalam masyarakat. Wilbur Schramm,
salah seorang pakar komunikasi terkemuka Amerika, dalam karya klasiknya yang
monumental, Mass Media and National Development (1964), menguraikan secara
tepat dan terperinci mengenai tugas dan peranana media massa dalam pembangunan.
Menurut Schramm, terdapat Sembilan peran yang dapat dikerjakan
media massa dalam membantu perubahan sosial, yakni: (1) media massa dapat
memperluas cakrawala pemikiran; (2) media masssa dapat memusatkan perhatian;
(3) media massa mampu menumbuhkan aspirasi; (4) media massa mampu menciptakan
suasana membangun; (5) media massa mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal
yang berhubungan dengan masalah-masalah politik; (6) media massa mampu
mengenalkan norma-norma sosial; (7) media massa mampu menumbuhkan selera;(8)
media massa mampu mengubah sikap yang lebih kuat; dan (9) media massa dapat
bereperan sebagai pendidikan (Schramm, Mass Media and National Development,
1964, dalam Depari dan Andrews, 198:40-53).
DAFTAR PUSTAKA
DRS.A.S.HARIS SUMADIRIA,
M.Si. 2014. Sosiologi Komunikasi Massa.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.
0 Comments